Sedangkan aku, sekedar menemaninya di malam ini saja tidak
mungkin, apalagi membuatnya tersenyum dengan rentang jarak yang tak bisa
kulawan. Apa yang kupunya? Tak ada daya untuk itu. Haruskah kumiliki kemampuan
sang malam? Yang menjaganya dari kelelahan, memberikannya kenyamanan, dan
menghadiahkannya senyum ketika bermimpi?
Dia yang kucintai terlelap dengan selimut malam, berlari
mengejar bintang bersinar yang melayang di atas langitnya. Tak pedulikan dingin
yang menghembus di sela-sela lelapnya, sang malam lebih erat memeluknya,
menjaganya, dan menghiburnya dalam maya yang terekam indah dalam senyum manis
bibirnya.
Sedangkan aku, hanya bisa berkata “met bobo cintaqoe, semoga
mimpi yang indah”. Hanya berdoa! Dan tak bisa lebih dari itu. Hanya berharap
semoga ucap bibirku menjelang tidurnya adalah kendaraan yang akan mengantarnya
menemui sang malam. Terlelap dalam selimut cintanya.
Aku disini, gundah, berusaha mencari akal menyaingi dan
menandingi kekuatan sang malam. Hanya dengan mempertahankan prajurit kata
manjaku kepadanya sebelum sang malam mendahului memeluknya.
Dalam gundahku, aku selalu memohon kepada Tuhan, meskipun
aku tak bisa menandingi, kelak aku adalah orang pertama yang mengucapkan
“selamat pagi cintaqoe” saat matanya melepas dekapan sang malam. Aku yang akan
ada disampinya, menjadi gerbang yang selalu melindunginya dari tiupan dingin
yang melontarkan anak panahnya mengalahkan sang malam.
Selamanya aku tak akan bisa menandingi malam, karenanya
kuputuskan akan bersahabat dengan sang malam, meskipun kecemburuanku tak bisa
berkurang. Aku yang akan menjadikan malam lebih kuat mendekapnya. Dengan itu,
aku menorehkan sebuah maksud agar ia tau aku memperhatikannya, lebih dari yang
dilakukan sang malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar